Bagaimana Hukumnya Jika Uang Zakat Fitrah Di Salurkan Untuk Pembangunan Masjid?
Penulis Tamu: Rofiatul Fitriyah
Email: roviatul01548@gmail.com
Hal inilah yang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat banyak sekali pendapat yang berbeda-beda dan menjadi pertanyaan bagi kita semua. Di dalam al-quran zakat hanya di berikan untuk delapan asnap itu, tetapi ada sebagian masyarakat yang menyalurkan dana zakat untuk pembangunan masjid bahkan sudah menjadi budaya.
Sejalan dengan peningkatan kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan amal sosial lainnya, maka meningkat pula kebutuhan manusia terhadap sarana ibadah, pendidikan dan sosial seperti masjid, musholla, dan sebagainya.
Untuk membangun sarana ibadah seperti masjid, musholla, dan sebagainya, diperlukan dana dalam jumlah besar yang seringkali tidak dapat ditanggulangi oleh pemerintah atau masyarakat sekitar.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, diperlukan bantuan dana dari umat Islam, yang antara lain bersumber dari dana Zakat.
Sejalan dengan peningkatan kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan amal sosial lainnya, maka meningkat pula kebutuhan manusia terhadap sarana ibadah, pendidikan dan sosial seperti masjid, musholla, dan sebagainya.
Untuk membangun sarana ibadah seperti masjid, musholla, dan sebagainya, diperlukan dana dalam jumlah besar yang seringkali tidak dapat ditanggulangi oleh pemerintah atau masyarakat sekitar.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, diperlukan bantuan dana dari umat Islam, yang antara lain bersumber dari dana Zakat.
Permasalahannya adalah bolehkah dana zakat didayagunakan untuk pembangunan sarana ibadah seperti masjid, musholla dan sebagainya?
Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang boleh tidaknya mendayagunakan dana zakat untuk pembangunan sarana ibadah seperti masjid atau musholla adalah sebagai berikut:
Para ulama berbeda pendapat dalam dalam masalah ini, dan sumber perbedaannya adalah dalam menafsirkan pada firman Allah “Untuk jalan Allah (fi sabilillah)”, yaitu segala sesuatu yang dengannya bisa mendekatkan diri kepada Allah seperti kepentingan-kepentingan umum atau yang dimaksud dengan berperang di jalan Allah. Dengan demikian, terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam mengemukakan batasan maksud syara’ dari sasaran zakat ini :
Para ulama berbeda pendapat dalam dalam masalah ini, dan sumber perbedaannya adalah dalam menafsirkan pada firman Allah “Untuk jalan Allah (fi sabilillah)”, yaitu segala sesuatu yang dengannya bisa mendekatkan diri kepada Allah seperti kepentingan-kepentingan umum atau yang dimaksud dengan berperang di jalan Allah. Dengan demikian, terjadinya perbedaan pendapat para fuqaha dalam mengemukakan batasan maksud syara’ dari sasaran zakat ini :
Mazhab Hanafi
Ulama mazhab Hanafi sepakat bahwa kefakiran dan kebutuhan merupakan syarat utama setiap orang yang dianggap termasuk sabilillah; apakah ia tentara, jamaah haji, pencari ilmu, atau orang yang berjuang di jalan kebajikan. Golongan Hanafi sepakat bahwa zakat itu adalah merupakan hak seseorang, karenanya zakat yang dikeluarkan tidak boleh digunakan untuk mendirikan masjid, perbaikan jalan, membendung sungai (dam) haji, jihad dan sebagainya (Yusuf Qordowi: 2004).
Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki, mereka sepakat bahwa sabilillah itu berkaitan dengan perang, jihad dan yang semakna dengan itu, seperti pos-pos penjagaan.
Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i menyatakan bahwa bagian dari sabilillah harus diberikan kepada orang-orang yang berperang, apakah ia fakir ataupun kaya.
Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali sama dengan mazhab Syafi’i, bahwa yang dimaksud dengan sabilillah adalah sukarelawan yang berperang yang tidak memiliki gaji tetap atau memiliki, akan tetapi tidak mencukupi kebutuhan. Mujahid diberi bagian yang mencukupi keperluan berperang, walaupun keadaannya kaya. Menurut pendapat lain dari mazhab mereka, bahwa perang yang menjadi penjaga pada benteng-benteng sama seperti orang yang berperang, termasuk sabilillah.
Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki, mereka sepakat bahwa sabilillah itu berkaitan dengan perang, jihad dan yang semakna dengan itu, seperti pos-pos penjagaan.
Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i menyatakan bahwa bagian dari sabilillah harus diberikan kepada orang-orang yang berperang, apakah ia fakir ataupun kaya.
Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali sama dengan mazhab Syafi’i, bahwa yang dimaksud dengan sabilillah adalah sukarelawan yang berperang yang tidak memiliki gaji tetap atau memiliki, akan tetapi tidak mencukupi kebutuhan. Mujahid diberi bagian yang mencukupi keperluan berperang, walaupun keadaannya kaya. Menurut pendapat lain dari mazhab mereka, bahwa perang yang menjadi penjaga pada benteng-benteng sama seperti orang yang berperang, termasuk sabilillah.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari mazhab empat ini adalah bahwa mereka bersepakat tentang sasaran ini pada tiga hal:
- Bahwa jihad itu secara pasti termasuk dalam ruang lingkup sabilillah.
- Disyariatkannya menyerahkan zakat kepada pribadi mujahid, berbeda denga menyerahkan zakat untuk keperluan jihad dan persiapannya.
- Tidak diperboleh menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti mendirikan dam, jembatan, masjid-masjid, sekolah-sekolah, memperbaiki jalan-jalan dan sebagainya.)
Ketahuilah bahwa zakat itu tidak boleh diserahkan kecuali kepada orang-orang yang yang telah ditentukan Allah dalam Kitab-Nya, yaitu kepada selain delapan golongan tersebut. Hal ini tetap tidak dibolehkan walaupun untuk proyek-proyek sosial, seperti membangun masjid, sekolah-sekolah, dan lainlain (Saleh Al-Fauzan: 2005). Karena, pembangunan masjid, sekolah-sekolah, jalan-jalan, dan prasana penunjang lainnya, bukan termasuk kelompok yang Allah SWT sebutkan sebagai tempat pembelanjaan zakat. Sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah SWT :
إنما الصد قات للفقرآء والمسا كین والعا ملین علیھا والمؤ لفة قلوبھم وف الرقاب والغا رمین وفى سبیل الله وابن السبیل، فریضة من الله، والله علیم حكیم. ﴿التوبة : ٦٠
Artinya:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah : 60)
Maka dapat dicermati, delapan kelompok (al-ashnaf ats-tsamaniyah) yang berhak menerima zakat sebagaimana yang disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 60 di atas, semuanya adalah manusia dan sama sekali tidak menyebutkan untuk proyek-proyek sosial, seperti membangun masjid, sekolah-sekolah, jalan-jalan dan sebagainya. Hal ini dapat difahami, bahwa dana hasil zakat memang khusus untuk dialokasikan peningkatan taraf hidup manusia, khususnya umat Islam. Adapun untuk pembangunan sarana ibadah dapat diperoleh dari sektor infaq, shadaqah, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar