Senin, 20 April 2015

Filsafat Rekontruksionisme dalam Pendidikan Islam, Studi atas Pemikiran Muhammad Iqbal (Bagian 1)

| Senin, 20 April 2015
Abstrak  

Pendidikan adalah hal yang tak bisa terpisahkan dengan kehidupan manusia. Namun pelaksanaan dalam mendapatkan pendidikan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Yang terkadang perubahan ini bernilai positif, namun tak jarang juga bisa memunculkan hal-hal yang bernilai negatif. Sangat banyak lembaga-lembaga pendidikan yang ada sekarang ini, hanya mempersiapkan dan mendidik para siswanya untuk bertujuan dunia saja (membentuk hubungan horizontal). Disisi lain ada juga lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mendidik para siswanya untuk memikirkan kehidupan pasca kematian saja (hubungan secara vertikal). Menurut Iqbal dan persepsi pendidikan Islam, perlu dibentuk konsep diri manusia dengan jelas dan baik yang berlandaskan nilai-nilai agama, sehingga mampu tercipta Insan yang Kamil. Yaitu insan yang bisa sukses secara vertikal dan horizontal.    

Pendahuluan 

Pendidikan pada hakekatnya adalah membantu peserta didik untuk menjadi generasi yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lainya. Pendidikan juga membawa misi untuk melibatkan peserta didik pada persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Rasanya sudah sangat sering kita dengarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pendidikan nasional. Kata-kata ekstrem pun sering terluapkan, konon pendidikan nasional Indonesia telah gagal menjalankan misinya untuk membentuk manusia-manusia yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia-manusia tak berbudi lainnya.

Ekstreminitas tersebut tentu tidak sepenuhnya benar meskipun ada bagian yang tidak salah. Adalah benar bahwa sebagian koruptor, kolutor, provokator serta manusia-manusia yang tidak berbudi lainnya adalah orang-orang yang berpendidikan, bahkan sebagian diantaranya berpendidikan tinggi. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa seluruh hasil pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi adalah buruk. Karena pendidikan itu sendiri merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai persoalan, meskipun ia selalu memberikan konsep-konsep baru tentang bagaimana membangun dan mengembangkan kualitas manusia. Disini, pendidikan menempati posisi penting, ketika secara “ tulus “ ia menjadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, sebagai sosok yang tidak “ kosong ” dari pengalaman-pengalaman yang telah dia ciptakan sendiri. 

Secara epistimologi, kelemahan beberapa memikiran klasik adalah ketika ia menganggap pengetahuan sudah ada dan sudah jadi, lalu ia menempatkan “sosok guru” sebagai seseorang yang paling tahu. Sehingga tugas guru adalah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak peserta didik. Maka peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu apa adanya.

Pada proses selanjutnya, materi-materi pelajaran “disesakkan” sedemikian rupa ke otak-otak peserta didik. Kesadaran untuk maju dicoba melalui media pengembangan dan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman, dan bahkan hukuman oleh guru. Sekolah, pada akhirnya telah kehilangan ruh  kanalisasi diri, etos kesepahaman, ekspresi dan aktualisasi pemikiran. Kesenangan pada proses pembelajaran, berubah “dratis” menjadi kebingungan, kenyamanan belajar pada akhirnya tidak lagi ditemukan di kelas. Inilah yang menjadi kegelisahan oleh para memikir pendidikan, Kurt Singger menyebutnya sebagai “Pedagogi hitam”. Sinisme senada juga muncul dari Ivan Illich, yang menyuarakan proyek “desschooling sociaty” (masyarakat bebas dari sekolah). Kemudian Everett Reimer, meneriakkan “the end of school”, Paulo Friere dengan “pedagogy of the opressed” nya, serta “the end of education” dari celotehan Neill Postman.

Usaha sekolah dalam melakukan proses pembelajaran, juga sangat mengunggulkan supremasi kognisi. Sehingga orientasi pembelajarannya adalah bagaimana guru berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan seluruh bahan atau materi, demi mengejar ulangan bersama dan mencapai nilai yang tinggi dalam menghadapi ujian akhir atau bersaing dalam menempuh ujian masuk Peguruan Tinggi. Maka pendidikan afeksi dan kompetensi peserta didik dalam melakukan interaksi antar sesama sungguh menjadi terabaikan. Secara konseptual, tugas seorang pendidik adalah memberikan stimulus, fasilitas, dan motivasi demi teraktualisasinya potensi setiap peserta didik. Akan tetapi pada dataran realitas, seorang pendidik berupaya melakukan indoktrinasi dan “pencekokan” ilmu, yang oleh Friere disebut sebagai the banking consept of education.

Dalam konteks pendidikan Islam, problematika pendidikan Islam mengalami hal yang serupa. Relasi pendidik – peserta didik melahirkan sikap-sikap eksklusif, formalis, dan tidak demokratis. Sementara dalam konteks content, pendidikan islam masih menunjukkan sikap apriori terhadap perbedaan. Padahal pendidikan Islam secara substansif berangkat dari semangat al-Qur’an dan living sunnah. Sementara sebagai sebuah konsep ilmu, pendidikan Islam terinspirasi dari dua sumber tersebut, akan tetapi ketika bersentuhan pada dataran formulasi dan pengembangan, maka akan terjadi dealektika dengan konsep dan teori yang dibangun dari non al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga sebuah ilmu bersifat relatif, debatable, dan falifiable.

Penulis: Jeeny Rahmayana, M.Pd.I
 
*Penulis adalah Ketua Prodi & Dosen Institut Agama Islam (IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai-Riau

Related Posts