Jumat, 05 Juni 2015

Tujuan Pendidikan Menurut Muhammad Iqbal

| Jumat, 05 Juni 2015
Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi Muslim yang memiliki kepribadian kenabian, yang memiliki orientasi vertikal dan horizontal sekaligus. Akan tetapi produk pendidikan Islam jusru menyumbang berbagai persoalan (meski bukan satu-satunya) dalam hubungannya dengan realitas sosial. Prilaku-prilaku destruktif sering diwujudkan dalam konflik komunal. Dalam salah satu sajaknya, Muhammad Iqbal mengkritik sistem pendidikann yang berlaku pada saat ini:

Aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh duka,
Disitu tidak kutemukan kehidupan,
Tidak pula cinta,
Tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan.
Guru-guru sekolah adalah orang-orang yang tak punya nurani,
Mati rasa, mati selera,
Dan kiai-kiai adalah orang-orang yang tak punya himmah,
Lemah cita, miskin pengalaman.

Sajak ini mengajukan sebuah keluhan dari seorang Muhammad Iqbal tentang pola pendidikan barat dan dunia Islam tradisional. Pendidikan barat lebih menitikberatkan pada materialisme, sehingga merusak tatanan spritualitas kemanusiaan. Sementara pada pendidikan Islam tradisional, menurut Muhammad Iqbal telah memenjarakan otak dan jiwa manusia dalam kurungan yang ketat. Pendidikan tradisional dalam perspektif Muhammad Iqbal kiranya tidak mampu mencetak manusia intelek yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan keduniaan. Dalam konteks ini kiranya sangat penting untuk melihat dan meneliti Muhammad Iqbal sebagai seorang rekonstruksionisme yang mencoba membangkitkan kesadaran umat Islam dari belenggu persoalan tersebut. Salah satu dari upaya Muhammad Iqbal ini bisa dilihat dari sajaknya:

Bangkitlah!
Pikullah amanat di atas pundakmu,
Hembuskan panas nafas panasmu di atas kebun ini,

Agar harum-haruman narwasatu meliputi segala.
Janganlah!
Jangan pilih hidup bagai nyanyian ombak, 
Hanya bernyanyi ketika terhempas dipantai!
Tapi, jadilah kamu air bah!
Menggugah dunia dengan amalmu.

Berbagai belenggu yang mengitari umat Islam, misalnya pandangan bahwa mempelajari alam semesta dan sejarah bukan bagian dari agama. Kemudian umat Islam selalu berada dibawah bayangan-banyangan filsafat Helenisme- Yunani. Untuk itulah sajak tersebut secara jelas berisi semangat untuk melakukan rekonstruksi. Dan upaya rekonstruksi Muhammad Iqbal tersebut tidak terbatas pada bidang pemikiran saja, melainkan juga pada pendidikan Islam. Oleh karena itu pola pembelajaran yang selama ini muncul dan berlaku dimasyarakat khususnya masyarakat islam, yang mana dipandang sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukanlah sekedar fasilitator, melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Maka proses belajar adalah suatu proses dimana siswa memproduksi pengetahuan. Dan selain itu siswa juga menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Disinilah makna dasar dari teori Rekonstruksionisme, yang menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi. Secara sederhana, paradigma pembelajaran rekonstruksionisme adalah:

Dari -----> Menjadi
Mengajar -----> Belajar
Indoktrinasi -----> Partisipatif sebagai fasilitator dan mediator
Guru sebagai subyek -----> Siswa sebagai subyek
Mengumpulkan -----> Menemukan Pengetahuan dan
Pengetahuan -----> Mengembangkan kerangka berfikir

Paradigma pembelajaran filsafat rekonstruksionisme, mencoba mengafirmasi dari mengajar menjadi belajar, dari pendekatan indoktrinasi ke partisipatif, dimana pendidik sebagai fasilitator dan mediator, pendidik sebagai subyek berubah menjadi siswalah yang menjadi subyek, dari mengumpulkan pengetahuan menuju pada proses menemukan pengetahuan dan mengembangkan kerangka berfikir. Dengan usaha untuk menggali dan menafsirkan kembali beberapa pemikiran Muhammad Iqbal tentang rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam tersebut, kemudian melakukan kajian lebih lanjut tentang model-model pembelajaran aliran filsafat rekonstruksionisme, maka akan dapat ditelusuri lebih lanjut bagaimana sintesa dari dua pemikiran yang berbeda tersebut (satu dari dunia timur dan sangat islami, dan yang satunya adalah salah satu aliran filsafat barat). Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika penulis tertarik untuk mendiskripsikan dan mengkaji lebih jauh pemikiran mereka, terutama pandangannya tentang pembelajaran. Karena bagi penulis pandangan tersebut sangat membantu dalam menghadapi berbagai problem realitas sosial.

Oleh: Jeeny Rahmayana, M.Pd.I 
*Penulis adalah Ketua Prodi & Dosen Institut Agama Islam (IAI) Tafaqquh Fiddin Dumai-Riau

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar