Dalam
sejarah nasional Bangsa Indonesia, Sumatra Barat merupakan sebuah wilayah yang
mempunyai peran menentukan dalam proses pencapaian Indonesia merdeka. Peran
yang dimainkan oleh orang-orang Sumatra Barat tersebut juga tak kalah
pentingnya dengan suku bangsa yang ada di tanah air. Dimasa perjuangan melawan
penjajahan dan di awal kemerdekaan banyaknya orang Minangkabau yang menguasai
dalam percaturan politik nasional bangsa. Hal ini terlihat dengan lahirnya
pergerakan-pergerakan
nasional dan semangat-semangat
pembaharuan yang digusung dari daerah Minangkabau ini. Sampai pada batas
tertentu, di masa awal kemerdekaan dan setelah kemerdekaan orang
Minangkabau mempunyai sistem
pemerintahan yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan sistem
pemerintahan dalam keyakinan masyarakat Jawa. Sejauh ini konsep kekuasaan hirarkhis Jawalah
yang lebih mendominasi dalam sistem pemerintahan Indonesia, padahal peran yang
dimainkan oleh masing-masing suku ini–Jawa dan Minangkabau–sama –sama
menentukan dalam sistem pemerintahan nasional bangsa.
Kadangkala
terdapat sebuah perbedaan persepsi antara suku bangsa Minangkabau dan Jawa
mengenai sistem pemerintahan Republik Indonesia yang akan menggantikan bentuk
sistem pemerintahan Kolonial Hindia Belanda pada waktu itu. Sejak periode akhir
penjajahan sampai reformasi. Mulai tahun 1926-1998. seorang penulis buku yang
bernama Audrey Kahin mencoba untuk melacak dan menggali proses dan kadar
kesungguhan orang Minangkabau dalam berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik
Indonesia. Dipaparkan dari perspektif lokal yang diawali dari detik-detik akhir
penjajahan dan berkembangnya gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia,
perjuangan kemerdekaan dan trauma yang dialami rakyat Minangkabau dalam
menyesuaikan diri dalam beradaptasi ke dalam bentuk sistem pemerintahan
Indonesia.
Audrey
Kahin dalam bukunya menjelaskan beberapa bagian tentang Sumatra Barat. Pada bagian
pertama menyoroti tentang akhir pemerintahan kolonial Belanda di Sumatra Barat
yang terdiri dari tiga bab. Bahasan
pertama diawali dengan latar belakang pecahnya pemberontakan pada tahun
1926/1927. Dalam latar belakang ini digambarkan tentang peta kronologis
perjalanan pemberontakan komunis dengan menyebutkan faktor-faktor apa saja yang
menghambat keefektifannya melawan pemerintahan kolonial. Selanjutnya dijelaskan
berbagai gejolak politik yang terjadi di daerah tersebut yang diikuti dengan
penumpasan semua kegiatan politik yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial
pada tahun 1932/1933. Dalam mengkaji peristiwa yang terjadi pada kedua periode
tersebut, penulis buku ini mencoba untuk memusatkan perhatiannya pada
konstalasi unit-unit kegiatan politik di Sumatra Barat, dan yang lebih
khususnya lagi Kahin lebih menekankan pentingnya kegiatan-kegiatan nasionalis
yang berbasiskan pada lembaga-lembaga pendidikan non-barat dan non-pemerintah.
Dimana Lembaga-lembaga pendidikan di daerah Sumatra Barat mempunyai jaringan
yang kuat sekali dengan lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di luar
Sumatra Barat. seperti di Timur Tengah, Eropa, Singapura, Jawa dll.
Dalam
bahasan selanjutnya diteruskan dengan menyebutkan pusat-pusat perlawanan
rakyat Minangkabau. Ketika meletusnya
pemberontakan 1927 setidaknya ada tiga pusat perlawanan yang mempunyai posisi
yang strategis dalam melakukan kegiatan utama politik radikal dalam melawan
penjajah. Diantara tempat-tempat tersebut adalah Padang Panjang, Silungkang dan
Padang. Ketiga pusat-pusat perlawanan yang disebutkan di atas mempunyai
keunikan dan karakteristik yang berbeda bagi masing-masing daerah. Padang
Panjang merupakan sebuah daerah tempat tumbuh dan berkembangnya para reformis
Islam. Di kota Padang Panjang tersebut para reformis Islam mendirikan sekolah modernis yang berbasiskan
pada agama. Seperti Sumatra Thawalib, Diniah Putri dll. Dengan berkembang dan
banyaknya sekolah agama, Padang Panjang menjadi sebuah kota pusat pendidikan
Islam. Sekolah agama tersebut mempunyai ikatan yang kuat dengan sekolah agama
lainnya. Ini merupakan sebuah langkah awal dalam membentuk lahirnya dan berkembangnya semangat nasionalisme di
Sumatra Barat. Pendidikan dalam hal ini merupakan perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial Belanda. Sementara Silungkang merupakan sebuah kota pusat
perdagangan dan kegiatan politik. Karena
kota Silungkang, secara Geografis mempunyai jalur kereta api yang melintas dari Padang melewati Padang Panjang dan terus
ke Silungkang. Oleh sebab itu gagasan-gagasan politik tidak ketinggalan
merambah ke daerah Silungkang. Sehingga kota Silungkang sebagai pusat
perdagangan juga dipengaruhi oleh kegiatan Sarekat Pekerja Buruh dan politik
radikal buruh yang terdapat di Ombilin. Hal ini terlihat dengan terjadi pemogokan para buruh batu bara yang terdapat
di Ombilin. Para saudagar dan
pedagang yang terdapat di Silungkang
dengan pengaruh politik buruh yang terdapat di Ombilin pada akhirnya dapat
bersatu dalam menentang pemerintahan kolonial. Sedangkan kota Padang merupakan
pusat kegiatan diplomasi dan kegiatan politik yang mempunyai jaringan dengan daerah-daerah yang
terdapat di luar Sumatra Barat.
Bila dianalisis, maka dapat dilihat bahwa
daerah-daerah yang ada di Sumatra barat mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri. Padang Panjang menjadi tulang punggung lahirnya semangat nasionalisme
yang dilatari oleh pendidikan agama.
Dalam hal ini para ulama dan para murid-muridnya dan perguruan Islam
lainnya kebanyakan dipengaruhi oleh gagasan-gagasa politik Tan Malaka.
Sementara Silungkang peran para saudagar dan pengusaha yang lebih dominan dalam
gerakan anti penjajahan dan menjalin hubungan yang erat dengan para buruh tambang batu bara yang terdapat di Ombilin.
Dan gerakan komunis di Padang, di
samping mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat, para ulama dan
perguruan Islam, juga mempunyai hubungan
yang dekat dengan para pemimpin PKI yang terdapat di Pulau Jawa.
Bersatunya
kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai elemen masyarakat yang berlatar
belakang berbeda, seperti kelompok agama, pedagang, pendidikan merupakan sebuah
sikap melawan anti penjajah kolonial Belanda. Disamping itu Kahin dalam buku
ini juga mengkontraskan peristiwa gerakan politik, ketegangan ketegangan dalam
melakukan pemberontakan tahun 1926/1927 dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada tahun 1930. Kemudian pembahasan juga dilanjutkan tentang strategi-strategi
politik dan ekonomi yang digunakan oleh pemerintah Kolonial Belanda dalam
mengembalikan dan mengembangkan kekuasaannya.
Yang diikuti dengan sebuah pengkajian tentang bagaimana perencanaan
pemerintahan Belanda dalam melakukan perlawanan terhadap masyarakat
Minangkabau dengan cara yang berbeda
dari pemimpin-pemimpin masyarakat Jawa. Seksi ini ditutup dengan sebuah
analisis tentang suasana detik-detik terakhir kekuasaan Belanda di Sumatra
Barat.
Pendudukan
Jepang yang terdapat di Sumatra Barat. yang diteruskan dengan revolusi anti
penjajahan pada masa pasca perang. Yang kemudian ditutup dengan penyerahan
kedaulatan Jepang pada akhir tahun 1949. Dalam menganalisis dinamika situasi
politik yang berkembang sampai periode tersebut, dapat digambarkan bahwa begitu
pentingnya bentuk-bentuk kekuatan militer di Sumatra Barat, yang tumbuh dari
tentara rakyat Jepang yang bernama Giyu Gun atau Laskar Rakyat. Giyu Gun
merupakan tentara sukarela yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan dan
Malaya untuk membantu bala tentara Jepang dalam mempertahankan daerah kawasan
dari serangan sekutu. dan bagaimana perbedaan dari organisasi-organisasi serupa
yang ada di tanah air. Selanjutnya penulisnya mendiskusikan tentang pandangan
berbeda-beda yang muncul di dalam kelompok Minangkabau dengan pemimpin Jawa
yang terkait dengan bentuk negara kesatuan bangsa Indonesia setelah
kemerdekaan. Dalam pandangan Minangkabau sistem pemerintahan yang cocok bagi
negara Indoesia adalah sistem pemerintahan federasi. Karena bangsa Indonesia
terdiri dari beribu-ribu pulau dan etnis yang berbeda-beda. Sementara dalam
pandangan Jawa, bahwa sistem pemerintahan yang cocok dalam sistem pemerintahan
Indonesia adalah konsep negara kesatuan
yang bersifat sentralistik. Dengan asumsi bahwa kemakmuran suatu bangsa
sangat tergantung dengan kekuasaan pusat. Kalau kekuasaan pusat sudah makmur
maka kemakmuran rakyatpun akan sejahtera.
Peristiwa
politik yang terjadi pada 1940, mengakibatkan terjadinya ketegangan-ketegangan
dan kepemimpinan pada masa revolusi dengan faktor-faktor yang terjadi selama
pergerakan nasionali sebelum perang.
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan mengkaji bagaimana perjuangan kemerdekaan
dan kepemimpinan di Sumatra Barat berbeda dari gambaran-gambaran tentang
revolusi Indonesia yang banyak diungkapkan dalam studi-studi sejarah terdahulu. Bahasan juga diikuti dengan sebuah
analisis pandangan nasionalis yang berasal dari Sumatra Barat tentang karakter
negara Indonesia merdeka dan pentingnya kedudukan daerah ini dalam percaturan
nasional bangsa Indonesia. Dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan sampai
masa kejatuhan presiden Soekarno. Di sini digambarkan tentang
peristiwa-peristiwa yang mengantarkan pemberontakan regional yang terjadi tahun 1958-1961 di Sumatra
Barat. Bagian ini diawali dengan jalan pemberontakannya dan perkembangan
sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Bagian ini dimulai dengan buyarnya harapan masyarakat Sumatra Barat pada tahun
1950, bahwa bangsa dan negara Indonesia
dapat dibentuk sesuai dengan konsep-konsep awal yang telah menentukan gerakan nasionalis setempat
dengan konsep negara federasinya.. Bahasan juga diikuti dengan menggambarkan
kebijakan pemerintahan Jakarta membubarkan Divisi Banteng di Sumatra Barat dan
bagaimana kekecewaan yang dirasakan oleh militer setempat sejalan dengan
ketidakpuasan kelompok-kelompok sipil terhadap negara Indonesia yang bersifat
sentralistik, tidak adanya otonomi daerah dan dominasi orang Jawa dalam politik
dan ekonomi Indonesia. Seksi ini memusatkan perhatiannya pada perkembangan dan
percekcokan sejak masa penyerahan kedaulatan Indonesia sampai pada meletusnya
pemberontakan pada tahun 1958. Yang berimplikasi terhadap Hancurnya sendi-sendi
kehidupan masyarakat Minangkabau selama berlangsung dan setelah kalahnya
pemberontakan tersebut.
Selanjutnya
integrasi yang terjadi di bawah rezim Orde Baru. Mengakibatkan terjadinya kudeta
1965 di Jakarta dan sesudahnya dan dampak peristiwa itu terhadap penyesuaian
politik di Sumatra Barat dan hubungan kawasan ini dengan pusat. Dalam hal ini kebijakan
para pemimpin setempat dalam upaya memulihkan rasa percaya diri masyarakat
Sumatra Barat setelah mengalami trauma pada
masa sebelumnya. Trauma tersebut merupakan akibat dari peristiwa
pemberontakan dan kekalahan oleh tentara Jawa. Bagian ini juga memusatkan
perhatian tentang penghancuran partai-partai politik dan bagaimana hukum, yang
menjadi pancasila sebagai satu-satunya azas bagi semua partai politik di
Indonesia. Dan menggantikan azaz Islam yang masih dianut oleh partai-partai
Islam ketika itu. Bahasan selanjutnya dilanjutkan dengan diberlakukannya atau
penerapan Undang-Undang Pemerintahan Desa Tahun 1979 yang dimaksudkan untuk
menciptakan suatu sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik dengan cara
sistem pemerintahan tingkat desa yang seragam di seluruh Indonesia. Implikasi dari penerapan
diberlakukannya UU Pemerintahan Desa bagi rakyat Minangkabau.. Meskipun begitu,
tahun-tahun terakhir kejatuhan Soeharto,
hubungan Sumatra Barat dengan pemerintahan pusat secara perlahan-lahan menjadi
dinamis lagi meski sejumlah kebijakan yang dilakukan pemerintah Jakarta, terutama UU Pemerintahan Desa Tahun
1979 yang telah menghancurkan sebagian karakteristik masyarakat Minangkabau.
Melalui berbagai aksi yang dilakukan
orang-orang Minang baik yang berdiam di Sumatra Barat maupun yang berada di perantauan, daerah ini dapat meraih
kembali tingkat kesejahteraan dan
pengaruh yang jauh lebih besar dibanding porsi penduduk dan sumber daya
ekonominya yang relatif kecil.
Kejatuhan Soeharto dan gerak langkah sementara
Indonesia menuju negara demokratis dari sentralistik menjadi desentralistik
diharapkan dapat menghidupkan kembali harapan untuk mengembalikan kecendrungan
yang telah mewarnai sejarah kelam negeri ini di masa pasca kemerdekaan. Peristiwa-peristiwa
yang terjadi sejak kemunduran diri Soeharto hingga pelaksanaan pemilu bebas
pertama dalam empat puluh tahun dengan menelusuri kemungkinan bahwa era
reformasi barangkali akan menjadi cita-cita orang Minangkabau akan mengahasilka
pemerintahan Indonesia yang lebih cocok dengan semangat yang dicita-citakan
orang Minangkabau. Meskipun demikian, kita dapat “inkosistensi pemakaian
istilah” antara Minangkabau dengan Sumatra Barat. Karena Minangkabau bukan
identik dengan Sumatra Barat. Begitu juga sebaliknya. Ada wilayah yang secara
geografis masuk ke dalam wilayah Sumatra Barat tetapi dia bukan bagian dari
entitas Minangkabau. Seperti Mentawai. Sumatra barat merupakan wilayah
administratif formal dalam sistem pemerintahan, sedangkan Minangkabau merupakan
entitas kultural masyarakat Minang. Audrey Kahin menjelaskan sejarah politik
Sumatra Barat yang dimulai pada tahun 1926-1998 boleh dikatakan sebuah
terobosan baru. Mengingat kajian-kajian sejarah yang ada selama ini sedikit
sekali yang ditulis sampai era reformasi, terutama sejak runtuhnya rezim Orde
Baru. Ia juga memberikan penjelasan secara sistematis mengenai periodisasi sejarah politik nasional di tanah
air. Mulai dari akhir penjajahan, pasca kemerdekaan sampai era reformasi.
__________________________________________________________________
Penulis: Agustri, S.H.I.
Penulis
adalah Tenaga Pengajar di SMK-RSBI Dumai &
dosen di kampus AKRI Dumai-RIAU. Dan Saat ini Sedang Mengikuti
Program S2 di UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar