Minggu, 28 Oktober 2012

Peranan Orang Minangkabau di Pentas Perpolitikan Indonesia

| Minggu, 28 Oktober 2012

Dalam sejarah nasional Bangsa Indonesia, Sumatra Barat merupakan sebuah wilayah yang mempunyai peran menentukan dalam proses pencapaian Indonesia merdeka. Peran yang dimainkan oleh orang-orang Sumatra Barat tersebut juga tak kalah pentingnya dengan suku bangsa yang ada di tanah air. Dimasa perjuangan melawan penjajahan dan di awal kemerdekaan banyaknya orang Minangkabau yang menguasai dalam percaturan politik nasional bangsa. Hal ini terlihat dengan lahirnya pergerakan-pergerakan nasional dan semangat-semangat  pembaharuan yang digusung dari daerah Minangkabau ini. Sampai pada batas tertentu, di masa awal kemerdekaan dan setelah kemerdekaan orang Minangkabau  mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan sistem pemerintahan dalam keyakinan masyarakat Jawa. Sejauh  ini konsep kekuasaan hirarkhis Jawalah yang lebih mendominasi dalam sistem pemerintahan Indonesia, padahal peran yang dimainkan oleh masing-masing suku ini–Jawa dan Minangkabau–sama –sama menentukan dalam sistem pemerintahan nasional bangsa.
            Kadangkala terdapat sebuah perbedaan persepsi antara suku bangsa Minangkabau dan Jawa mengenai sistem pemerintahan Republik Indonesia yang akan menggantikan bentuk sistem pemerintahan Kolonial Hindia Belanda pada waktu itu. Sejak periode akhir penjajahan sampai reformasi. Mulai tahun 1926-1998. seorang penulis buku yang bernama Audrey Kahin mencoba untuk melacak dan menggali proses dan kadar kesungguhan orang Minangkabau dalam berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dipaparkan dari perspektif lokal yang diawali dari detik-detik akhir penjajahan dan berkembangnya gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia, perjuangan kemerdekaan dan trauma yang dialami rakyat Minangkabau dalam menyesuaikan diri dalam beradaptasi ke dalam bentuk sistem pemerintahan Indonesia.
            Audrey Kahin dalam bukunya menjelaskan beberapa bagian tentang Sumatra Barat. Pada bagian pertama menyoroti tentang akhir pemerintahan kolonial Belanda di Sumatra Barat yang terdiri dari tiga  bab. Bahasan pertama diawali dengan latar belakang pecahnya pemberontakan pada tahun 1926/1927. Dalam latar belakang ini digambarkan tentang peta kronologis perjalanan pemberontakan komunis dengan menyebutkan faktor-faktor apa saja yang menghambat keefektifannya melawan pemerintahan kolonial. Selanjutnya dijelaskan berbagai gejolak politik yang terjadi di daerah tersebut yang diikuti dengan penumpasan semua kegiatan politik yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial pada tahun 1932/1933. Dalam mengkaji peristiwa yang terjadi pada kedua periode tersebut, penulis buku ini mencoba untuk memusatkan perhatiannya pada konstalasi unit-unit kegiatan politik di Sumatra Barat, dan yang lebih khususnya lagi Kahin lebih menekankan pentingnya kegiatan-kegiatan nasionalis yang berbasiskan pada lembaga-lembaga pendidikan non-barat dan non-pemerintah. Dimana Lembaga-lembaga pendidikan di daerah Sumatra Barat mempunyai jaringan yang kuat sekali dengan lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di luar Sumatra Barat. seperti di Timur Tengah, Eropa, Singapura, Jawa dll.
            Dalam bahasan selanjutnya diteruskan dengan menyebutkan pusat-pusat perlawanan rakyat  Minangkabau. Ketika meletusnya pemberontakan 1927 setidaknya ada tiga pusat perlawanan yang mempunyai posisi yang strategis dalam melakukan kegiatan utama politik radikal dalam melawan penjajah. Diantara tempat-tempat tersebut adalah Padang Panjang, Silungkang dan Padang. Ketiga pusat-pusat perlawanan yang disebutkan di atas mempunyai keunikan dan karakteristik yang berbeda bagi masing-masing daerah. Padang Panjang merupakan sebuah daerah tempat tumbuh dan berkembangnya para reformis Islam. Di kota Padang Panjang tersebut para reformis  Islam mendirikan sekolah modernis yang berbasiskan pada agama. Seperti Sumatra Thawalib, Diniah Putri dll. Dengan berkembang dan banyaknya sekolah agama, Padang Panjang menjadi sebuah kota pusat pendidikan Islam. Sekolah agama tersebut mempunyai ikatan yang kuat dengan sekolah agama lainnya. Ini merupakan sebuah langkah awal dalam membentuk lahirnya  dan berkembangnya semangat nasionalisme di Sumatra Barat. Pendidikan dalam hal ini merupakan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Sementara Silungkang merupakan sebuah kota pusat perdagangan dan kegiatan politik.  Karena kota Silungkang, secara Geografis mempunyai jalur kereta api yang melintas  dari Padang melewati Padang Panjang dan terus ke Silungkang. Oleh sebab itu gagasan-gagasan politik tidak ketinggalan merambah ke daerah Silungkang. Sehingga kota Silungkang sebagai pusat perdagangan juga dipengaruhi oleh kegiatan Sarekat Pekerja Buruh dan politik radikal buruh yang terdapat di Ombilin. Hal ini terlihat dengan terjadi  pemogokan para buruh batu bara yang terdapat di Ombilin.  Para saudagar dan pedagang   yang terdapat di Silungkang dengan pengaruh politik buruh yang terdapat di Ombilin pada akhirnya dapat bersatu dalam menentang pemerintahan kolonial. Sedangkan kota Padang merupakan pusat kegiatan diplomasi dan kegiatan politik yang  mempunyai jaringan dengan daerah-daerah yang terdapat di luar Sumatra Barat.
             Bila dianalisis, maka dapat dilihat bahwa daerah-daerah yang ada di Sumatra barat mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Padang Panjang menjadi tulang punggung lahirnya semangat nasionalisme yang dilatari oleh pendidikan agama.  Dalam hal ini para ulama dan para murid-muridnya dan perguruan Islam lainnya kebanyakan dipengaruhi oleh gagasan-gagasa politik Tan Malaka. Sementara Silungkang peran para saudagar dan pengusaha yang lebih dominan dalam gerakan anti penjajahan dan menjalin hubungan yang erat dengan para buruh  tambang batu bara yang terdapat di Ombilin. Dan  gerakan komunis di Padang, di samping mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat, para ulama dan perguruan Islam,  juga mempunyai hubungan yang dekat dengan para pemimpin PKI yang terdapat di Pulau Jawa.
            Bersatunya kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai elemen masyarakat yang berlatar belakang berbeda, seperti kelompok agama, pedagang, pendidikan merupakan sebuah sikap melawan anti penjajah kolonial Belanda. Disamping itu Kahin dalam buku ini juga mengkontraskan peristiwa gerakan politik, ketegangan ketegangan dalam melakukan pemberontakan tahun 1926/1927 dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 1930. Kemudian pembahasan juga dilanjutkan tentang strategi-strategi politik dan ekonomi yang digunakan oleh pemerintah Kolonial Belanda dalam mengembalikan dan mengembangkan kekuasaannya.  Yang diikuti dengan sebuah pengkajian tentang bagaimana perencanaan pemerintahan Belanda dalam melakukan perlawanan terhadap masyarakat Minangkabau  dengan cara yang berbeda dari pemimpin-pemimpin masyarakat Jawa. Seksi ini ditutup dengan sebuah analisis tentang suasana detik-detik terakhir kekuasaan Belanda di Sumatra Barat.
            Pendudukan Jepang yang terdapat di Sumatra Barat. yang diteruskan dengan revolusi anti penjajahan pada masa pasca perang. Yang kemudian ditutup dengan penyerahan kedaulatan Jepang pada akhir tahun 1949. Dalam menganalisis dinamika situasi politik yang berkembang sampai periode tersebut, dapat digambarkan bahwa begitu pentingnya bentuk-bentuk kekuatan militer di Sumatra Barat, yang tumbuh dari tentara rakyat Jepang yang bernama Giyu Gun atau Laskar Rakyat. Giyu Gun merupakan tentara sukarela yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Malaya untuk membantu bala tentara Jepang dalam mempertahankan daerah kawasan dari serangan sekutu. dan bagaimana perbedaan dari organisasi-organisasi serupa yang ada di tanah air. Selanjutnya penulisnya mendiskusikan tentang pandangan berbeda-beda yang muncul di dalam kelompok Minangkabau dengan pemimpin Jawa yang terkait dengan bentuk negara kesatuan bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. Dalam pandangan Minangkabau sistem pemerintahan yang cocok bagi negara Indoesia adalah sistem pemerintahan federasi. Karena bangsa Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan etnis yang berbeda-beda. Sementara dalam pandangan Jawa, bahwa sistem pemerintahan yang cocok dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah konsep negara kesatuan  yang bersifat sentralistik. Dengan asumsi bahwa kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung dengan kekuasaan pusat. Kalau kekuasaan pusat sudah makmur maka kemakmuran rakyatpun akan sejahtera.
Peristiwa politik yang terjadi pada 1940, mengakibatkan terjadinya ketegangan-ketegangan dan kepemimpinan pada masa revolusi dengan faktor-faktor yang terjadi selama pergerakan  nasionali sebelum perang. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan mengkaji bagaimana perjuangan kemerdekaan dan kepemimpinan di Sumatra Barat berbeda dari gambaran-gambaran tentang revolusi Indonesia yang banyak diungkapkan dalam studi-studi sejarah  terdahulu. Bahasan juga diikuti dengan sebuah analisis pandangan nasionalis yang berasal dari Sumatra Barat tentang karakter negara Indonesia merdeka dan pentingnya kedudukan daerah ini dalam percaturan nasional bangsa Indonesia. Dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan sampai masa kejatuhan presiden Soekarno. Di sini digambarkan tentang peristiwa-peristiwa yang mengantarkan pemberontakan regional  yang terjadi tahun 1958-1961 di Sumatra Barat. Bagian ini diawali dengan jalan pemberontakannya dan perkembangan sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Bagian ini dimulai dengan buyarnya  harapan masyarakat Sumatra Barat pada tahun 1950, bahwa bangsa dan  negara Indonesia dapat dibentuk sesuai dengan konsep-konsep awal yang  telah menentukan gerakan nasionalis setempat dengan konsep negara federasinya.. Bahasan juga diikuti dengan menggambarkan kebijakan pemerintahan Jakarta membubarkan Divisi Banteng di Sumatra Barat dan bagaimana kekecewaan yang dirasakan oleh militer setempat sejalan dengan ketidakpuasan kelompok-kelompok sipil terhadap negara Indonesia yang bersifat sentralistik, tidak adanya otonomi daerah dan dominasi orang Jawa dalam politik dan ekonomi Indonesia. Seksi ini memusatkan perhatiannya pada perkembangan dan percekcokan sejak masa penyerahan kedaulatan Indonesia sampai pada meletusnya pemberontakan pada tahun 1958. Yang berimplikasi terhadap Hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat Minangkabau selama berlangsung dan setelah kalahnya pemberontakan tersebut.
            Selanjutnya integrasi yang terjadi di bawah rezim Orde Baru. Mengakibatkan terjadinya kudeta 1965 di Jakarta dan sesudahnya dan dampak peristiwa itu terhadap penyesuaian politik di Sumatra Barat dan hubungan kawasan ini dengan pusat. Dalam hal ini kebijakan para pemimpin setempat dalam upaya memulihkan rasa percaya diri masyarakat Sumatra Barat setelah mengalami trauma pada  masa sebelumnya. Trauma tersebut merupakan akibat dari peristiwa pemberontakan dan kekalahan oleh tentara Jawa. Bagian ini juga memusatkan perhatian tentang penghancuran partai-partai politik dan bagaimana hukum, yang menjadi pancasila sebagai satu-satunya azas bagi semua partai politik di Indonesia. Dan menggantikan azaz Islam yang masih dianut oleh partai-partai Islam ketika itu. Bahasan selanjutnya dilanjutkan dengan diberlakukannya atau penerapan Undang-Undang Pemerintahan Desa Tahun 1979 yang dimaksudkan untuk menciptakan suatu sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik dengan cara sistem pemerintahan tingkat desa yang seragam di seluruh  Indonesia. Implikasi dari penerapan diberlakukannya UU Pemerintahan Desa bagi rakyat Minangkabau.. Meskipun begitu, tahun-tahun terakhir  kejatuhan Soeharto, hubungan Sumatra Barat dengan pemerintahan pusat secara perlahan-lahan menjadi dinamis lagi meski sejumlah kebijakan yang dilakukan pemerintah  Jakarta, terutama UU Pemerintahan Desa Tahun 1979 yang telah menghancurkan sebagian karakteristik masyarakat Minangkabau. Melalui berbagai aksi  yang dilakukan orang-orang Minang baik yang berdiam di Sumatra Barat maupun yang  berada di perantauan, daerah ini dapat meraih kembali  tingkat kesejahteraan dan pengaruh yang jauh lebih besar dibanding porsi penduduk dan sumber daya ekonominya yang relatif kecil.          
             Kejatuhan Soeharto dan gerak langkah sementara Indonesia menuju negara demokratis dari sentralistik menjadi desentralistik diharapkan dapat menghidupkan kembali harapan untuk mengembalikan kecendrungan yang telah mewarnai sejarah kelam negeri ini di masa pasca kemerdekaan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak kemunduran diri Soeharto hingga pelaksanaan pemilu bebas pertama dalam empat puluh tahun dengan menelusuri kemungkinan bahwa era reformasi barangkali akan menjadi cita-cita orang Minangkabau akan mengahasilka pemerintahan Indonesia yang lebih cocok dengan semangat yang dicita-citakan orang Minangkabau. Meskipun demikian, kita dapat “inkosistensi pemakaian istilah” antara Minangkabau dengan Sumatra Barat. Karena Minangkabau bukan identik dengan Sumatra Barat. Begitu juga sebaliknya. Ada wilayah yang secara geografis masuk ke dalam wilayah Sumatra Barat tetapi dia bukan bagian dari entitas Minangkabau. Seperti Mentawai. Sumatra barat merupakan wilayah administratif formal dalam sistem pemerintahan, sedangkan Minangkabau merupakan entitas kultural masyarakat Minang. Audrey Kahin menjelaskan sejarah politik Sumatra Barat yang dimulai pada tahun 1926-1998 boleh dikatakan sebuah terobosan baru. Mengingat kajian-kajian sejarah yang ada selama ini sedikit sekali yang ditulis sampai era reformasi, terutama sejak runtuhnya rezim Orde Baru. Ia juga memberikan penjelasan secara sistematis mengenai  periodisasi sejarah politik nasional di tanah air. Mulai dari akhir penjajahan, pasca kemerdekaan sampai era reformasi.
__________________________________________________________________
Penulis: Agustri, S.H.I.
Penulis adalah Tenaga Pengajar di SMK-RSBI Dumai & dosen di kampus AKRI Dumai-RIAU. Dan Saat ini Sedang Mengikuti Program S2 di UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar