Kemendikbud mengeluhkan betapa sulitnya mendistribusikan para guru ke daerah-daerah. Seperti yang diberitakan Kompas.com Kamis 1 Maret 2012, guru-guru menumpuk di suatu daerah terutama di kota-kota.
Kemendikbud semakin merasa kesulitan karena bergabungnya Departemen Kebudayaan. Meleburnya departemen ini sedikit banyak membuat tugas kementrian makin berat. Akhirnya mereka hanya bisa meminta daerah melalui Gubernur untuk menangani masalah pendistribusian.
Saya sebagai guru di sebuah sekolah yang termasuk di wilayah kota merasakan hal itu. Guru menumpuk di sekolah kota. Bahkan ada sekolah yang mempunyai guru melebihi kuota.
Lalu pertanyaannya kok bisa ya terjadi penumpukan guru? Hmmmm, ya bisa. Sebab ada tangan besi yang bermain. Ada oknum yang bermain peran dengan cantik di belakang layar.
Buka rahasia sedikit. Sekolah saya kedatangan guru PNS untuk mata pelajaran IPS. Padahal guru PNS di sekolah saya ini sudah 4 orang ditambah lagi GTT (honorer) 1 orang. Ditambah satu PNS lagi menjadi 6 guru pengajar IPS.
Mata pelajaran IPS selama seminggu hanya 4 jam pelajaran. Guru mata pelajaran diwajibkan mengajar 24 jam seminggu. Berarti satu guru pegang 6 kelas.
Dengan jumlah rombel (rombongan belajar) sebanyak 17 kelas, logikanya sekolah kami ini hanya butuh 3 guru IPS.
Nah, kalau guru IPSnya 6 orang bagaimana? Jadilah pengajar serabutan. Guru IPS akhirnya mengajar Komputer, Seni Budaya, dan lain-lain.
Iseng-iseng saya tanya kepada guru IPS yang terakhir masuk. Guru ini pindahan dari pulau Madura. Dia ikut tes disana setahun lalu. Hebatnya dia bisa pindah tempat kurang dari 2 tahun mengajar.
"17 juta, Pak," Pak guru muda itu berbisik. "SK masuk sini 2 jutaan,"
"Mengapa pindah dari Madura, Pak?" Tanya saya.
"Keluarga saya kan disini. Saya ikut tes disana karena mudah lulus tes CPNS," kata pak guru baru memberi alasan.
"Oh, begitu ya," saya hanya mengangguk-nganggukan kepala.
Saya hanya bisa tersenyum kecut. Semuanya mudah diatur jika ada uang.
Hidup Uang!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar