Sabtu, 26 November 2011

Makna Hari Guru: GTT Vs GT

| Sabtu, 26 November 2011
Tepat tanggal 25 November 2011 kemarin, bangsa Indonesia memperingati Hari Guru. Sebuah hari yang dikhususkan bagi para abdi bangsa yang menjadi ujung tombak pendidikan. 

Sebagai hari istimewa, tentu para guru seharusnya bergembira. Hari guru bisa dijadikan introspeksi dan revitalisasi fungsi dan peran mereka sebagai motor mencerdaskan bangsa.

Alih-alih melakukan introspeksi dan revitalisasi, yang ada hanya gerutuisasi. Gerutuisasi karena merasa terzalimi dari segi finansial.

Sebagian guru masih berkutat dengan masalah pencairan TPP yang lama tak kunjung mengucur. Sebagian yang lain sibuk mencari cara agar santai mengajar tanpa beban tapi gaji tetap besar.

Bukan rahasia kalau setiap sekolah itu menyimpan api. Ya, api dalam sekam. Api ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban antar guru.

Akhirnya terjadilah yang namanya kastaisasi. Kastaisasi ini memicu kesenjangan antar guru sendiri. Antara GT dan GTT terdapat jurang yang cukup mendalam.

Timbullah pemaknaan Hari Guru dengan makna ganda. Hari Guru versi Guru Tetap (GT) dan Hari Guru versi Guru Tidak Tetap (GTT).

Guru Tetap di sekolah negeri yang tentunya sudah menjadi PNS memaknai Hari Guru dengan memakai baju kebesaran batik warna putih. 

Sayangnya, ada yang mengotori baju ini. Ada beberapa rekan guru yang menganggap sekolah itu tempat mencari uang saja. Anak hanya mendapat pengajaran. Kalau mereka tidak bisa, kemudian dianggap bodoh. 

Lucunya, ada istilah "NGAJI" Ngarang Biji. Ya, anak bukan dinilai dari prestasinya dari hasil evaluasi belajar, tetapi dari faktor "luck". Kalau beruntung dapat nilai bagus, kalau tidak beruntung, dapat jelek.

Anehnya ini disampaikan oleh guru yang sudah menjadi PNS puluhan tahun. Sudah ngapuk dapat gaji jutaan. Tapi profesionalisme tetap gak bergeming.

Lain lagi yang GTT. Bangsa Indonesia yang katanya harus menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban, hanya kamuflase belaka. 

GTT di sekolah negeri mempunyai kewajiban yang sama. Mengajar 24 jam, bahkan ada yang lebih. Tapi gajinya? Seperempat gaji GT.

Lebih mengenaskan lagi, GTT ini tak punya kesempatan untuk mendapat sertifikasi guru. Pemerintah belum sempat atau tidak akan pernah mengaturnya.

GTT di sekolah swasta lebih memprihatinkan lagi. Gaji telat bahkan ada yang digaji 6 bulan sekali. Bahkan yang sudah dapat sertifikasi, tidak digaji sama sekali. Cukup dapat uang sertifikasi setahun sekali namun tak pasti itu.

Hingga akhirnya ada GTT yang kerja paruh waktu. Ada yang harus jual cilok (pentol bakso), ngojek, bahkan ada pula yang jualan ke pasar jika ada waktu luang.

Akibatnya, mereka tidak bisa maksimal dalam mencerdaskan anak bangsa. Kerja apa adanya karena kesejahteraan yang tak merata.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar