Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah diberlakukan sejak tahun 2006 yang lalu. Kurikulum yang konon mampu menjawab tantangan dan harapan mutu pendidikan yang lebih baik. Sudahkah sesuai dengan harapan?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya kita tinjau sejenak apa yang dimaksud dengan KTSP itu sendiri.
KTSP adalah suatu perangkat pendidikan yang didalamnya tercantum tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, bahan ajar, proses belajar mengajar, dan evaluasi pendidikan, yang semuanya bermuara dari potensi yang dimiliki suatu sekolah. Dengan kata lain, KTSP disusun sesuai dengan keadaan suatu sekolah.
Dengan begitu, antara sekolah satu dengan yang lainnya tidak sama dalam menyajikan proses pendidikan terhadap peserta didiknya.
Kebebasan ini disebabkan potensi dan karakteristik masing-masing daerah tidak sama. Misal, kota Jakarta dan Jember, sangat berbeda karakter dan potensi daerahnya. KTSP kemudian disusun untuk memunculkan potensi daerah tersebut.
Peserta didik adalah makhluk yang unik. Mereka mempunyai kemampuan yang tidak sama. Dengan KTSP ini ada harapan kalau cara belajar dan output peserta didik lebih terarah dan mudah dikembangkan jika sesuai dengan realita terdekat di lingkungan mereka.
Kalau dilihat sekilas, nampaknya berhasil. Sekolah-sekolah telah menunjukkan kemampuan mereka menelorkan suatu terobosan semisal bergerak di bidang adi wiyata, pengembangan budi daya lele, batik dan lain sebagainya.
Kota A yang berpotensi di bidang agro industri, sekolah-sekolahnya giat di bidang agro industri. Memasukkan pembelajaran kerajinan tangan dan pembelajaran yang konkret lainnya.
Berhasil itu kesimpulannya. Namun ada sedikit celah yang membuat KTSP ini cacat. Cacatnya adalah proses evaluasi nasional yang justru bertentangan dengan prinsip KTSP itu sendiri.
Bukankah dalam KTSP diamanatkan untuk mengembangkan pola pembelajaran sampai proses evaluasi mandiri? Bukankah dalam KTSP prinsip perbedaan individu sangat dinomersatukan. Tapi mengapa harus ada doktrin evaluasi nasional?
Kalau sudah begini, KTSP hanya seperti hiasan belaka. Suatu proyek uji coba yang suatu saat akan berubah sesuai dengan kemauan pemerintah.
Akhirnya terjadilah proses diskreasi. Sekolah-sekolah mulai melupakan prinsip dasar itu. Mereka mulai fokus bagaimana meluluskan siswa dalam Ujian Nasional. Tidak ada lagi upaya meningkatkan potensi peserta didik sesuai kemampuan.
Seharusnya ada kebanggaan mempunyai sekolah yang unggul dalam menggali potensi diri, tapi kemudian menjadi sekolah yang "pengecut" tidak berani memunculkan potensi karena takut siswanya banyak yang tidak lulus Ujian Nasional.
Lalu, mau dibawa kemana KTSP itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar